Konsep Childfree Belum Diterima Luas di Indonesia

 


Meskipun bukan ide baru, tingkat penerimaan masyarakat Indonesia terhadap childfree masih rendah. Temuan ini tercantum dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul "Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia".


"Dalam masyarakat Indonesia, konsep childfree belum sepenuhnya diterima secara positif," demikian isi laporan yang dikutip pada Rabu (13/11).


Masih ada berbagai komentar negatif terkait childfree yang tersebar di media sosial seperti YouTube, dengan persentase mencapai 47,16 persen.


Komentar netral juga muncul cukup banyak, sekitar 44,67 persen. Pendapat ini menggambarkan pandangan bahwa pilihan hidup setiap individu seharusnya dihormati.


Namun, hanya 8 persen masyarakat yang memberikan dukungan positif terhadap gagasan ini.


Di media sosial, childfree kerap dikaitkan dengan norma agama. Kata-kata seperti 'Tuhan', 'agama', 'Allah', dan 'egois' sering muncul dalam diskusi seputar childfree.


Secara keseluruhan, laporan tersebut mencatat bahwa banyak pengguna media sosial menganggap childfree bertentangan dengan kodrat manusia yang ditetapkan oleh Tuhan.


"Lebih jauh, orang-orang yang memilih childfree dinilai bersikap egois dan hanya memikirkan kepentingan pribadi," tambah laporan itu.


Sementara itu, mereka yang mendukung pilihan childfree dianggap memiliki alasan yang cukup masuk akal. Kata kunci seperti 'beban' dan 'takut' menunjukkan bahwa ada pandangan bahwa anak bisa menjadi beban ekonomi dan finansial bagi keluarga.


"Oleh karena itu, masyarakat yang merasa khawatir tidak mampu membiayai atau mengasuh anak dengan baik cenderung memilih untuk childfree," lanjut laporan tersebut.


71 Ribu Perempuan Indonesia Memutuskan Childfree


Di Indonesia, sekitar 71 ribu perempuan berusia 15-49 tahun memilih untuk tidak memiliki anak atau menjalani hidup childfree. Informasi ini diambil dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 yang berjudul "Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia."


Laporan ini mengevaluasi tren childfree dari sudut pandang maternal dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Fokusnya adalah perempuan usia subur (15-49 tahun) yang pernah menikah tetapi belum memiliki anak dan tidak menggunakan metode KB.


Hasil survei menunjukkan bahwa sekitar 8 persen perempuan memilih untuk childfree.


Istilah childfree merujuk pada keputusan individu dewasa atau pasangan untuk tidak memiliki anak, baik secara biologis maupun melalui adopsi, yang didasarkan pada pilihan pribadi, bukan masalah fertilitas.


Menurut laporan tersebut, sebagian masyarakat childfree beranggapan bahwa menjadi orang tua melibatkan biaya besar serta pengorbanan dalam aspek sosial, ekonomi, dan psikologis.


Selama empat tahun terakhir, prevalensi childfree menunjukkan peningkatan. Data SUSENAS mencatat bahwa pada tahun 2019, angka childfree berada di 7 persen.


Angka ini sempat turun menjadi 6,3 persen pada tahun 2020, kemudian naik lagi menjadi 6,5 persen di 2021, dan melonjak menjadi 8,2 persen pada 2022.


"Berdasarkan tren kenaikan dalam beberapa tahun terakhir, diperkirakan bahwa jumlah perempuan yang memilih untuk childfree akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang," demikian isi laporan.


Penurunan persentase pada 2020 diduga terkait pandemi Covid-19, di mana kebijakan work from home (WFH) mungkin berdampak pada keputusan memiliki anak.


Fenomena childfree ini diperkirakan turut memengaruhi penurunan angka kelahiran atau total fertility rate (TFR) di Indonesia. Berdasarkan Sensus Penduduk, TFR Indonesia mengalami tren penurunan sejak 1971.


"Laporan tersebut menyebutkan bahwa dengan tren yang terus meningkat, fenomena childfree berdampak besar terhadap penurunan angka total fertility rate (TFR) di Indonesia."


Penurunan TFR merupakan fenomena global yang terjadi di berbagai negara. Saat ini, jumlah kelahiran semakin berkurang di banyak tempat.


Penurunan TFR juga menunjukkan bahwa semakin banyak perempuan menunda atau memilih untuk tidak memiliki anak sama sekali.


Tanggung Jawab Ibu dalam Mengasuh Anak Jadi Alasan Perempuan Memilih Childfree



Menjadi ibu bukanlah tugas yang ringan. Tekanan untuk mengasuh anak sering kali membuat sejumlah perempuan memilih untuk tidak memiliki anak atau childfree. Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, menjelaskan bahwa inti dari gerakan childfree sering kali berkaitan erat dengan perempuan.


Menurut Devie, perempuan memiliki kendali penuh atas keputusan untuk melahirkan anak. Namun, mereka juga harus menghadapi sudut pandang patriarki yang masih kuat, di mana tanggung jawab pengasuhan anak lebih banyak dibebankan pada mereka.


"Salah satu alasan perempuan menolak memiliki anak adalah karena cara pandang patriarki yang masih menganggap pengasuhan anak sepenuhnya menjadi tugas perempuan," kata Devie dalam program Secret at Newsroom Pepe News 'Ingar-bingar Childfree,' Jumat (24/3).


Ekspektasi tinggi terhadap kualitas pengasuhan anak kerap menjadi beban bagi perempuan. Menurut Devie, hal ini membuat perempuan merasa tidak didukung dan akhirnya memutuskan untuk childfree.


"Perempuan, terutama yang mempertimbangkan memiliki anak, sering merasa kurang dukungan. Karena menjadi ibu bukan hanya soal melahirkan, tapi juga mengenai bagaimana anak tersebut dibesarkan," jelas Devie.


Devie juga menambahkan bahwa pola pikir masyarakat tentang peran dalam keluarga dan pengasuhan anak perlu diubah. Tanggung jawab membesarkan anak seharusnya menjadi kepentingan bersama, bukan hanya tugas perempuan.


Sejalan dengan pendapat Devie, Kei Savourie menyatakan bahwa fenomena childfree juga menunjukkan kekuatan perempuan yang semakin besar. Kei, yang juga memilih childfree bersama istrinya, melihat ini sebagai bukti bahwa perempuan kini memiliki kendali penuh atas tubuh dan pilihannya sendiri.


"Fenomena childfree ini membuktikan bahwa perempuan kini memiliki kuasa atas tubuh mereka sendiri, menjadi lebih setara, dan tidak lagi terpengaruh pihak lain," ujar Kei pada kesempatan yang sama.


Menurut Kei, perempuan saat ini memiliki otoritas lebih besar atas pilihan hidupnya dibandingkan masa lalu, ketika mereka tak punya banyak suara dan harus mengikuti tekanan dari keluarga atau pasangan untuk memiliki anak.


Kesulitan Ekonomi Memengaruhi Keputusan Childfree di Indonesia


Pilihan untuk childfree di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh pola pikir masyarakat yang semakin terbuka, tetapi juga oleh faktor kesulitan ekonomi. Dalam laporan "Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia," Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa sekitar 71 ribu perempuan berusia 15-49 tahun di Indonesia memilih untuk tidak memiliki anak, dan jumlah ini cenderung meningkat dalam empat tahun terakhir.


"Prevalensi perempuan yang memilih childfree kemungkinan akan terus naik di tahun-tahun mendatang," demikian isi laporan yang dikutip pada Rabu (13/11).


Laporan tersebut juga menemukan bahwa perempuan dengan tingkat pendidikan lebih tinggi, khususnya lulusan S2 dan S3, cenderung menunda atau bahkan tidak berencana memiliki anak. Hal ini menunjukkan adanya hubungan erat antara tingkat pendidikan yang tinggi dengan keputusan untuk childfree.


Masyarakat yang lebih terbuka terhadap hak individu juga dinilai mendorong kecenderungan childfree.


Kesulitan ekonomi sebagai faktor utama

Namun, laporan tersebut juga menunjukkan bahwa persentase perempuan berpendidikan SMA atau di bawahnya yang memilih childfree justru lebih tinggi.


Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), tingkat pendidikan sangat berpengaruh pada peluang kerja yang kemudian berdampak pada kondisi ekonomi seseorang.


"Keputusan untuk childfree di Indonesia tampaknya tidak hanya terkait peningkatan pendidikan, tetapi juga erat kaitannya dengan faktor ekonomi," demikian perkiraan laporan tersebut.


Data dari SUSENAS 2022 menunjukkan bahwa sekitar 57 persen perempuan yang memilih childfree tidak terlibat aktif dalam kegiatan ekonomi atau memiliki penghasilan sendiri, memperkuat bahwa faktor ekonomi memang memengaruhi keputusan untuk tidak memiliki anak.


Sementara itu, sebagian perempuan childfree yang aktif dalam dunia kerja terlibat di sektor perdagangan, dengan lebih dari 80 persen dari mereka telah memiliki rumah pribadi meskipun harga properti terus naik.


Lebih baru Lebih lama