Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia Jawa Timur (BEM SI Jatim) dan BEM Nusantara Jawa Timur (Bemnus Jatim) menggelar aksi protes menolak rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen yang direncanakan mulai berlaku pada 1 Januari 2025.
Kedua organisasi mahasiswa tersebut bersepakat untuk bergabung membentuk Aliansi Mahasiswa Jawa Timur dalam menyuarakan aspirasi mereka. Aksi dimulai dengan membentangkan spanduk besar bertuliskan "Tolak PPN 12%", diikuti dengan orasi teatrikal dan pengumpulan tanda tangan petisi di kawasan Taman Bungkul, Surabaya.
Koordinator Wilayah BEM SI Jatim, Aulia Thaariq Akbar, menjelaskan bahwa aksi ini sengaja dilaksanakan pada hari bebas kendaraan bermotor (car free day/CFD) di Taman Bungkul pada Minggu (29/12) untuk mengajak masyarakat luas menentang kenaikan PPN.
"Meski ternyata CFD di Taman Bungkul dibatalkan, hal tersebut tidak memadamkan semangat kami. Sekitar 150 orang ikut dalam aksi ini, termasuk mahasiswa dari berbagai kampus di Jawa Timur, buruh, dan pedagang kecil," ungkap Thaariq.
Thaariq optimis bahwa aksi ini akan memberikan dampak nyata, serta mampu meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen. Ia juga menegaskan bahwa apabila pemerintah tetap melaksanakan kebijakan tersebut, aksi lanjutan yang lebih besar akan digelar.
"Peningkatan tarif PPN ini akan memberikan beban besar bagi masyarakat kecil, khususnya para buruh dan pedagang," ujarnya dengan tegas.
Di sisi lain, Koordinator Bemnus Jatim, Helvin, menambahkan bahwa kenaikan satu persen pada PPN akan memberikan tekanan berat pada masyarakat kelas bawah, termasuk pedagang kecil di sekitar Taman Bungkul dan tempat lainnya.
"Kami mendesak agar kebijakan kenaikan PPN 12 persen ini dibatalkan dan dikaji ulang. Pemerintah seharusnya lebih fokus pada pemberantasan korupsi, pengurangan biaya operasional, serta efisiensi anggaran tahunan para menteri daripada membebani masyarakat," ujar Helvin.
Eks Menteri Agama Era Jokowi Temui Sri Mulyani, Desak Pembatalan Kenaikan PPN 12 Persen
Lukman Hakim Saifuddin, mantan Menteri Agama, bersama jajaran Gerakan Nurani Bangsa (GNB) bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Jumat malam (27/12). Pertemuan tersebut dimanfaatkan untuk mendesak pemerintah agar membatalkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang dijadwalkan berlaku pada tahun 2025.
Sebagai salah satu pengurus GNB, Lukman menyoroti bahwa kebijakan ini berpotensi semakin memperburuk kondisi ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah, yang saat ini masih berjuang pulih dari dampak pandemi.
"Kelompok masyarakat kelas menengah sudah sangat terbebani dengan berbagai persoalan seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), penurunan pendapatan, dan lonjakan harga kebutuhan pokok," ujar Lukman dalam konferensi pers virtual yang digelar oleh GNB pada Sabtu (28/12).
Ia menambahkan bahwa rencana kenaikan PPN ini hanya akan memperburuk situasi tersebut. "Kenaikan menjadi 12 persen akan semakin menekan daya beli masyarakat sekaligus berdampak pada sektor konsumsi, yang selama ini menjadi tulang punggung utama perekonomian kita," jelasnya.
GNB juga mengkritisi kebijakan lainnya yang dianggap memberatkan masyarakat, seperti peningkatan iuran BPJS Kesehatan, pelaksanaan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), serta berbagai kebijakan lain yang dianggap menambah beban bagi rakyat.
Lukman menegaskan bahwa pemerintah perlu mengevaluasi langkah-langkah kebijakan fiskalnya. Ia mengajak pemerintah untuk lebih bijak dalam menyusun kebijakan yang berdampak langsung pada daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok rentan.
"Pemerintah perlu memprioritaskan kebijakan yang mendukung kepentingan masyarakat dari kalangan menengah dan bawah. Selain lebih adil, langkah ini penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam jangka panjang," kata Lukman.
Saat ini, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tengah menghadapi gelombang protes dari masyarakat yang menolak kenaikan PPN menjadi 12 persen. Dalam beberapa hari terakhir, lebih dari 197.753 orang telah menandatangani petisi yang mendesak pembatalan kebijakan tersebut. Data ini tercatat hingga Sabtu (28/12) pukul 13.00 WIB.
Rencana kenaikan PPN tersebut merupakan hasil pengesahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). UU tersebut disahkan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang saat ini putranya, Gibran Rakabuming Raka, menjabat sebagai Wakil Presiden.
Lukman berharap agar Sri Mulyani dan pemerintah secara keseluruhan dapat mempertimbangkan kembali dampak dari kebijakan tersebut, dan memilih langkah yang tidak memberatkan masyarakat. "Kesejahteraan masyarakat harus menjadi fokus utama, dan hal ini perlu diperhatikan dalam setiap kebijakan yang ditetapkan," tutupnya.
Bahlil: Kenaikan PPN 12 Persen Adalah Amanat Undang-Undang yang Dilaksanakan Pemerintahan Prabowo
Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, menjelaskan bahwa kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen per Januari 2025 adalah bentuk pelaksanaan Undang-Undang oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
"Pada prinsipnya, presiden dilantik untuk menjalankan undang-undang. Jadi, apa pun yang diamanatkan undang-undang harus dilaksanakan oleh pemerintah," ujar Bahlil saat ditemui di Pos Pengamatan Gunung Merapi, Sleman, Yogyakarta, Minggu (29/12).
Menurut Bahlil, kenaikan tarif PPN ini telah diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang disahkan oleh DPR bersama pemerintah pada tahun 2021.
"Secara khusus, kenaikan tarif PPN ini diatur dalam undang-undang yang dibuat pada tahun 2021," tegas Bahlil, yang juga menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Melalui UU HPP, dijelaskan bahwa tarif PPN naik bertahap, dari 10 persen menjadi 11 persen pada 2022, dan akhirnya menjadi 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.
Bahlil mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo menyadari dampak kenaikan PPN terhadap masyarakat. Karena itu, pemerintah berupaya mencari solusi kompromi. Ia menjelaskan bahwa tarif PPN 12 persen akan diberlakukan khusus untuk barang-barang mewah, sedangkan kebutuhan pokok dan produk lokal akan tetap dikenakan tarif 11 persen.
"Khusus barang mewah akan dikenakan PPN sebesar 12 persen. Namun, untuk kebutuhan pokok dan produk lokal, tarifnya tetap 11 persen," jelasnya.
"Contohnya, untuk pembelian mobil atau barang mewah lainnya, tarif PPN yang berlaku adalah 12 persen. Tapi kebutuhan dasar tetap menggunakan tarif yang berlaku sekarang," tambah Bahlil.
Sementara itu, pemerintah menghadapi penolakan masyarakat terhadap kenaikan tarif PPN ini. Lebih dari 197.753 orang telah menandatangani petisi yang menuntut pembatalan kenaikan PPN, berdasarkan data yang terkumpul hingga Sabtu (28/12).
Kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen ini merupakan implementasi dari UU HPP, yang disahkan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Jokowi, yang merupakan ayah dari Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, telah menandatangani undang-undang tersebut untuk diterapkan secara bertahap.
Namun, pernyataan Bahlil bahwa PPN 12 persen hanya akan diterapkan pada barang mewah tidak sejalan dengan penjelasan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. DJP menyatakan bahwa kenaikan tarif ini berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang sebelumnya dikenakan tarif 11 persen.
Terlepas dari perbedaan pandangan tersebut, Bahlil menegaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab menjalankan amanat undang-undang demi menjaga kesinambungan kebijakan fiskal negara.